Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dugaan Pungli di Pantai Tanjung Bias Seret Nama Mantan Kepala Desa

LOMBOK BARAT, NTB (gonasional.com) - Persoalan dugaan praktik pungutan liar (Pungli) di Pantai Tanjung Bias, Desa Senteluk, Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat, mulai menyeret nama mantan kepala desa inisial FAR. Sumber media ini mengatakan, terkuaknya nama mantan kepala desa sejak adanya gugatan Ala Robin tahun 2021. 

Selain mantan kepala desa, gugatan ini melibatkan sejumlah pihak diantaranya BUMDes Senteluk, Pemerintah Kecamatan Batulayar, dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Gugatan ini, kata dia, disebabkan ulah Pemerintah Desa Senteluk, melalui BUMDes  yang diduga dengan sengaja menyewakan tanah bersertifikat Hak Milik (SHM), atas nama Ala Robin untuk bangunan lapak semi permanen. Sesuai sertifikatnya, diketahui bahwa sebelah barat batas tanah yang dipenuhi lapak tersebut, masuk dalam kawasan roy pantai (Resapan).

Gugatan itu dimenangkan Ala Robin. Namun hingga saat ini, masih dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA). "Jadi, yang disewakan tanpa persetujuan ala robin itu di lahan yang dikawasan pantainya," ujar sumber yang enggan disebut namanya, Selasa (20/08).

Tidak hanya itu, Pemerintah Desa Senteluk yang saat itu dipimpin oleh FAR, dengan sengaja mengajukan permohonan bantuan ke KKP untuk pembangunan 'Berugak Tangkong' sebagai Pusat Informasi Bahari. Ia menduga, ini menjadi bagian dari skenario untuk menyerobot tanah Ala Robin.

Karena hingga bangunan tersebut berdiri, pemerintah desa sama sekali tidak mengantongi izin. Baik dari pemilik sertifikat, atau Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. 

Anehnya lagi, lahan beserta roy pantai tersebut juga diduga dijadikan alasan pihak pemerintah desa untuk memanfaatkan dana desa, modusnya untuk penataan kawasan wisata kuliner, dan menarik bantuan pengelolaan BUMDes dari Pemerintah Provinsi NTB.

"Saat proses gugatan, beberapa pedagang yang sudah terlanjur menyewa untuk membangun lapak banyak yang datang, mau sewa langsung (ke ala Robin,red) tapi ditolak, karena  itu urusannya dengan pemerintah desa," ulasnya.

DUGAAN PENGGELAPAN

Menurut sumber media ini, harga sewa roy pantai untuk membangun satu lapak saja, mencapai puluhan juta rupiah dan itu dibayarkan secara bertahap. Ia pun menunjukan bukti beberapa kuitansi yang salah satunya, ditandatangani tahun 2019. Kuitansi itu bermaterai 6000, ditandatangani penyewa dan seorang pria yang kala itu bertindak atas nama BUMDes Senteluk. 

Setelah membayar, pemerintah desa baru akan menerbitkan Surat Keterangan Kepemilikan Hak Atas Bangunan. Surat keterangan pemerintah desa tersebut, mengatasnamakan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Bukti yang ditunjukan sumber media ini juga ditambah pengakuan seseorang yang diketahui memiliki lapak dan masih aktif beroperasi di roy Pantai Tanjung Bias. 

Pemilik lapak tersebut dengan gamblang membeberkan bahwa hingga saat ini, jika ada pihak yang ingin membeli lapak di roy pantai tersebut diharuskan menyetor sebesar 20 sampai 25 persen dari total harga lapak. Saat ini saja, harga per unitnya bisa mencapai lebih dari Rp. 150 juta. Itu belum termasuk retribusi bulanan. 

Dulunya, Pemerintah Desa Senteluk melalui BUMDes memungut retribusi masing-masing lapak kisaran Rp. 500 ribu sampai Rp 1 juta per bulan. Namun semenjak Lombok Barat mengalami Pandemi Covid 19, nilai retribusi yang ditarik diturunkan.

"Wajib kita bayarkan mas. Baru bisa dikeluarkan surat keterangan dari desa. Pokoknya aman kalau membeli lapak di Tanjung Bias. Pemerintah desa (Senteluk, Red) yang menjamin," bebernya.

Hal tersebut bertolak belakang dengan pengakuan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Lombok Barat, H Maksum. Ditemui belum lama ini, Kepala Disperindag Lombok Barat menegaskan, sejak tahun 2018 roy pantai Tanjung Bias dimanfaatkan desa, pihaknya sama sekali tidak pernah menerima retribusi dari keberadaan puluhan lapak tersebut.

Lebih jauh dijelaskan, secara regulasi, Disperindag Lombok Barat memiliki kewenangan dalam pemberian ijin operasi lapak dan UMKM. Jika desa ingin memanfaatkan lahan milik pemerintah, pihaknya akan membuat kesepakatan mengenai pembagian hasil.

"Lapak yang di bawah koordinasi dengan kami, kami akan buatkan MoU, dengan pembagian hasil 50:50," bebernya.

Menjamurnya lapak di sepanjang roy pantai Tanjung Bias, merupakan kesalahan pemerintah desa yang memberikan izin para pedagang hanya dengan bermodalkan surat keterangan desa dan peraturan desa. 

Dan sampai saat ini, pihaknya belum pernah menerima permohonan izin dari Pemerintah Desa Senteluk, terkait keberadaan lapak di atas roy pantai Tanjung Bias. 

Terpisah, Kepala Dinas Perumahan dan Tata Ruang (PUTR) Lombok Barat, HK Lalu Winengan, mempersilahkan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk turun dan menindak oknum-oknum yang terlibat dalam persoalan Pungli di Pantai Tanjung Bias. 

"Kalau sudah seperti itu, APH  yang harus bertindak. Kalau memang terbukti BUMDes atau pemerintah desa yang bersalah harus diperiksa. Intinya, tidak boleh roy pantai diperjual belikan atau disewakan oleh siapapun," tegasnya.

Ia menilai, dugaan Pungli di Pantai Tanjung Bias terindikasi dengan sindikat mafia tanah yang terorganisir dan masif, lebih berbahaya dari ancaman Covid 19. Gara-gara mafia tanah masyarakat kehilangan mata pencaharian, merugikan pemerintah, serta pemilik lahan.

"Saya akan laporkan ke pak bupati dan melakukan rapat koordinasi agar segera ditindaklanjuti masalah Pantai Tanjung Bias," tandasnya. (red).

Posting Komentar untuk "Dugaan Pungli di Pantai Tanjung Bias Seret Nama Mantan Kepala Desa "